Ciremai 22-23 Jan’ 2004

Kedalaman hati merengkuh dunia, tiada berbekas dan berharap.

Angkara murka tak mampu berharap hanya menanti kehancuran.
Bingkai dunia melenakan mata, hanya nurani yang mampu menghentikannya

diary ‘hijjau’…

“Uhhh…akhirnya aku kembali berada dibelantara lebatnya hutan seorang diri, terasa kesunyian dan kedamaian dirasakan”. Yaa, setelah lebih dari lima tahun aku tak lagi melakukan pendakian solo mengunjungi gunung-gunung yang menjadi sahabat terbaik-ku.  Begitu ku menikmati saat-saat kesendirian seperti ini, banyak hal yang bisa aku renungi, seperti memutar kembali kisah kehidupan yang lalu. Kadang tersimpul senyum mengingat kembali kisah-kisah ku dulu.

Hmm…saat itu pendakian benar-benar sepi, hanya aku sendiri. Pendakian ku mulai pada tanggal 22 Jan 2004 pukul 12:00 setelah melaporkan diri pada petugas jaga Gn. Ceremai jalur Apuy, Abah Suljo yang dikenal juga sebagai kuncennya.

diary ‘hijjau’…

Pos I yang berjarak tempuh 1 jam perjalanan dapat kutemui dipinggiran hutan Gn. Ceremai, di tengah ladang penduduk. Setelah itu mulailah memasuki hutan, pohon-pohon yang tinggi, semak-semak yang rapat, udara yang lembab/basah menjadi ciri khas hutan tropis. Dinginya udara, kicauan burung , bisikan angin, serta belaian kabut membuai mahluk yang berada disekelilingnya. Ditengah perjalanan menuju Pos II kutemui aliran sungai kecil yang jernih untuk mengisi persediaan air. Satu jam sudah perjalanan ini, akhirnya Pos II-Perempatan Lima  pun aku capai.

diary ‘hijjau’…

Suasana siang itu masih terasa sepi sekali tak ada pendaki lain yang terlihat. Ketenangan dan kedamaian tampak terasa, obat yang tak akan mampu diracik tangan manusia yang menjadi penyembuh segala macam penyakit didunia ini J. Pendakian ini terasa lama, tak ada gelak tawa dan canda yang terdengar. Hanya desahan nafas yang memburu seirama ritme pendakian, sesekali keluar kata-kata yang menyanjung Sang Penguasa Alam Semesta. Hanya 10 menit aku beristirahat di pos ini. Hari ini cuaca cukup bersahabat, udara yang lembab, sesekali sinar matahari ikut membagi keceriaanya menembus atap-atap rimba. Tak ketinggalan kabut pun berlomba-lomba memenuhi seisi hutan ini, menambah suasana semakin mengasyikan (serem maksudnya!!!J). Lalu setelah itu cuaca menjadi mendung dan suara geledek terus mengikuti setiap langkah kaki ini.

diary ‘hijjau’…

Satu jam sudah Pos II terlewati, tampak lah Pos III-Tegal Mawasa 2400 Mdpl didepan mata. Saat itu menunjukkan pukul 15:20, tak lama aku beristirahat disana, lalu aku bangkit dan mendaki lagi. Hari semakin senja keadaan dihutan semakin gelap. Aku berpikir mencoba menganalisa situasi dan keadaan dilapangan. Tadinya aku akan mendirikan tanda di Pos V, namun karena keadaan yang tidak memungkinkan, aku harus camp di Pos IV saja. Pendakian semakin ku percepat untuk segera sampai disana. Setelah lima puluh menit, akhirnya sampai juga di Pos IV, saat itu jam menunjukkan pukul 16:10.

diary ‘hijjau’…

Disana tertulis Pos IV-Tegal Jamuju (2.600 Mdpl), aku pun tak buang-buang waktu lagi. Segera ku bongkar carrier dan mengeluarkan tenda yang cukup untuk 3 orang. Sekitar 15 menit, tenda pun telah berdiri. Bersamaan dengan itu hujan pun mulai membasahi lantai-lantai hutan. “Alhamdulillah, Allah Maha Penyayang”.  Setelah semua peralatan masuk tenda, aku pun mulai memasak nasi. Perut yang belum diisi semenjak pagi mulai berontak. Aku hanya membawa perbekalan seadanya, 4 potong roti dan 1/6 liter beras saja. Menjelang maghrib mencoba untuk beristirahat sejenak, lalu jam 20:00 aku terbangun. Keadaan tenda yang gelap gulita karena sengaja aku tak menyalakan lilin. Lalu shalat dan membereskan peralatan kemudian melanjutkan istirahat. Tak ada aktifitas yang berarti, suasana Diluar begitu mencekam. Bunyi air hujan, suara-suara binatang malam, deru nafas angin, gesekan dedaunan bersatu menyanyikan lagu Sang Alam.

diary ‘hijjau’

Pagi-pagi menghangatkan nasi sisa semalam, lalu sarapan pagi. Lalu diteruskan dengan packing peralatan ke dalam carrier. Jam 8:20 aku lanjutkan pendakian yang tertunda menuju puncak. Jalur yang dilalui semakin menanjak dan lumayan terjal dengan keadaan medan yang licin akibat seringnya hujan. Pos V-Sanghiang Rangkah (2800 Mdpl). Aku coba beristirahat sejenak sambil meluruskan kaki dan melonggarkan beban yang ada di pundak, saat itu pukul 9:05. Sambil menikmati roti yang tersisa, tampak MOMON (begitu panggilan mesra-ku untuk mahluk cantik yang katanya adalah nenek moyang kita J) berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Begitu ceria dan jenaka, seolah tak ada beban kehidupan. Kabut dengan setia terus menemani, ditengah perjalanan aku bertemu dengan rombongan pendaki dari Jakarta, akhirnya bertemu juga dengan sesama J.

diary ‘hijjau’…

Aku putuskan untuk meninggalkan semua beban yang kubawa di tepi jalur pendakian, dengan pertimbangan cuaca yang semakin memburuk sehingga aku harus segera sampai di puncak. Tanpa beban aku semakin leluasa bergerak dan semakin cepat pendakian ini. Tak lama kemudian  sampailah di Gua Walet 2950 Mdpl. Tampak disisi kanan terlihat Gua yang cukup nyaman untuk camp atau berteduh. Namun aku tak langsung turun untuk melihat gua itu, “mungkin setelah turun dari puncak saja”’ pikirku.

diary ‘hijjau’…

Kabut semakin menjadi-jadi, Jarak pandangan hanya berkisar 10 m saja. Aku cukup merasa khawatir juga dengan keadaan cuaca yang mulai tak bersahabat ini. Pendakian semakin ku percepat, dengan berlari-lari kecil diantara batu-batu karang ku terus mendaki. “ALHAMDULILLAH :)!!!”, puncak Ceremai tergapai sudah. Untuk kedua kalinya tanah tertinggi di Jawa Barat ini aku kunjungi lagi, saat itu tepat pukul 10:45.  Pohon Cantigi yang  belum berbuah, pohon Edelweiss yang masih segar. Tampak pula kawah yang berwarna hijau kebiruan terisi air hujan. Puncak yang sepi, begitu kuat kebisuan tercipta disana, hanya kepakan sayap-sayap burung diatas sana.

diary ‘hijjau’…

Semua beban terlepas sudah. Alam telah memberiku penawar racun dunia, semoga ini tak hanya sementara. Lima belas menit aku berada dipuncak, suara gemuruh kilat menggelegar, tanda akan segera turun hujan. Segera aku turun sambil berlari-lari, tak berapa lama hujan pun turun. Cepat-cepat aku menuju gua untuk berteduh, baru saja aku memasuki gua, hujan menjadi reda. “Wah, sepertinya Gua ini hanya ingin aku menjenguknya walaupun sesaat”, bathin ku berkata. Kuliat-lihat sebentar kadaan diKedalaman hati merengkuh dunia, tiada berbekas dan berharap.

Angkara murka tak mampu berharap hanya menanti kehancuran.
Bingkai dunia melenakan mata, hanya nurani yang mampu menghentikannya

diary ‘hijjau’…

“Uhhh…akhirnya aku kembali berada dibelantara lebatnya hutan seorang diri, terasa kesunyian dan kedamaian dirasakan”. Yaa, setelah lebih dari lima tahun aku tak lagi melakukan pendakian solo mengunjungi gunung-gunung yang menjadi sahabat terbaik-ku.  Begitu ku menikmati saat-saat kesendirian seperti ini, banyak hal yang bisa aku renungi, seperti memutar kembali kisah kehidupan yang lalu. Kadang tersimpul senyum mengingat kembali kisah-kisah ku dulu.

Hmm…saat itu pendakian benar-benar sepi, hanya aku sendiri. Pendakian ku mulai pada tanggal 22 Jan 2004 pukul 12:00 setelah melaporkan diri pada petugas jaga Gn. Ceremai jalur Apuy, Abah Suljo yang dikenal juga sebagai kuncennya.

diary ‘hijjau’…

Pos I yang berjarak tempuh 1 jam perjalanan dapat kutemui dipinggiran hutan Gn. Ceremai, di tengah ladang penduduk. Setelah itu mulailah memasuki hutan, pohon-pohon yang tinggi, semak-semak yang rapat, udara yang lembab/basah menjadi ciri khas hutan tropis. Dinginya udara, kicauan burung , bisikan angin, serta belaian kabut membuai mahluk yang berada disekelilingnya. Ditengah perjalanan menuju Pos II kutemui aliran sungai kecil yang jernih untuk mengisi persediaan air. Satu jam sudah perjalanan ini, akhirnya Pos II-Perempatan Lima  pun aku capai.

diary ‘hijjau’…

Suasana siang itu masih terasa sepi sekali tak ada pendaki lain yang terlihat. Ketenangan dan kedamaian tampak terasa, obat yang tak akan mampu diracik tangan manusia yang menjadi penyembuh segala macam penyakit didunia ini J. Pendakian ini terasa lama, tak ada gelak tawa dan canda yang terdengar. Hanya desahan nafas yang memburu seirama ritme pendakian, sesekali keluar kata-kata yang menyanjung Sang Penguasa Alam Semesta. Hanya 10 menit aku beristirahat di pos ini. Hari ini cuaca cukup bersahabat, udara yang lembab, sesekali sinar matahari ikut membagi keceriaanya menembus atap-atap rimba. Tak ketinggalan kabut pun berlomba-lomba memenuhi seisi hutan ini, menambah suasana semakin mengasyikan (serem maksudnya!!!J). Lalu setelah itu cuaca menjadi mendung dan suara geledek terus mengikuti setiap langkah kaki ini.

diary ‘hijjau’…

Satu jam sudah Pos II terlewati, tampak lah Pos III-Tegal Mawasa 2400 Mdpl didepan mata. Saat itu menunjukkan pukul 15:20, tak lama aku beristirahat disana, lalu aku bangkit dan mendaki lagi. Hari semakin senja keadaan dihutan semakin gelap. Aku berpikir mencoba menganalisa situasi dan keadaan dilapangan. Tadinya aku akan mendirikan tanda di Pos V, namun karena keadaan yang tidak memungkinkan, aku harus camp di Pos IV saja. Pendakian semakin ku percepat untuk segera sampai disana. Setelah lima puluh menit, akhirnya sampai juga di Pos IV, saat itu jam menunjukkan pukul 16:10.

diary ‘hijjau’…

Disana tertulis Pos IV-Tegal Jamuju (2.600 Mdpl), aku pun tak buang-buang waktu lagi. Segera ku bongkar carrier dan mengeluarkan tenda yang cukup untuk 3 orang. Sekitar 15 menit, tenda pun telah berdiri. Bersamaan dengan itu hujan pun mulai membasahi lantai-lantai hutan. “Alhamdulillah, Allah Maha Penyayang”.  Setelah semua peralatan masuk tenda, aku pun mulai memasak nasi. Perut yang belum diisi semenjak pagi mulai berontak. Aku hanya membawa perbekalan seadanya, 4 potong roti dan 1/6 liter beras saja. Menjelang maghrib mencoba untuk beristirahat sejenak, lalu jam 20:00 aku terbangun. Keadaan tenda yang gelap gulita karena sengaja aku tak menyalakan lilin. Lalu shalat dan membereskan peralatan kemudian melanjutkan istirahat. Tak ada aktifitas yang berarti, suasana Diluar begitu mencekam. Bunyi air hujan, suara-suara binatang malam, deru nafas angin, gesekan dedaunan bersatu menyanyikan lagu Sang Alam.

diary ‘hijjau’

Pagi-pagi menghangatkan nasi sisa semalam, lalu sarapan pagi. Lalu diteruskan dengan packing peralatan ke dalam carrier. Jam 8:20 aku lanjutkan pendakian yang tertunda menuju puncak. Jalur yang dilalui semakin menanjak dan lumayan terjal dengan keadaan medan yang licin akibat seringnya hujan. Pos V-Sanghiang Rangkah (2800 Mdpl). Aku coba beristirahat sejenak sambil meluruskan kaki dan melonggarkan beban yang ada di pundak, saat itu pukul 9:05. Sambil menikmati roti yang tersisa, tampak MOMON (begitu panggilan mesra-ku untuk mahluk cantik yang katanya adalah nenek moyang kita J) berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Begitu ceria dan jenaka, seolah tak ada beban kehidupan. Kabut dengan setia terus menemani, ditengah perjalanan aku bertemu dengan rombongan pendaki dari Jakarta, akhirnya bertemu juga dengan sesama J.

diary ‘hijjau’…

Aku putuskan untuk meninggalkan semua beban yang kubawa di tepi jalur pendakian, dengan pertimbangan cuaca yang semakin memburuk sehingga aku harus segera sampai di puncak. Tanpa beban aku semakin leluasa bergerak dan semakin cepat pendakian ini. Tak lama kemudian  sampailah di Gua Walet 2950 Mdpl. Tampak disisi kanan terlihat Gua yang cukup nyaman untuk camp atau berteduh. Namun aku tak langsung turun untuk melihat gua itu, “mungkin setelah turun dari puncak saja”’ pikirku.

diary ‘hijjau’…

Kabut semakin menjadi-jadi, Jarak pandangan hanya berkisar 10 m saja. Aku cukup merasa khawatir juga dengan keadaan cuaca yang mulai tak bersahabat ini. Pendakian semakin ku percepat, dengan berlari-lari kecil diantara batu-batu karang ku terus mendaki. “ALHAMDULILLAH :)!!!”, puncak Ceremai tergapai sudah. Untuk kedua kalinya tanah tertinggi di Jawa Barat ini aku kunjungi lagi, saat itu tepat pukul 10:45.  Pohon Cantigi yang  belum berbuah, pohon Edelweiss yang masih segar. Tampak pula kawah yang berwarna hijau kebiruan terisi air hujan. Puncak yang sepi, begitu kuat kebisuan tercipta disana, hanya kepakan sayap-sayap burung diatas sana.

diary ‘hijjau’…

Semua beban terlepas sudah. Alam telah memberiku penawar racun dunia, semoga ini tak hanya sementara. Lima belas menit aku berada dipuncak, suara gemuruh kilat menggelegar, tanda akan segera turun hujan. Segera aku turun sambil berlari-lari, tak berapa lama hujan pun turun. Cepat-cepat aku menuju gua untuk berteduh, baru saja aku memasuki gua, hujan menjadi reda. “Wah, sepertinya Gua ini hanya ingin aku menjenguknya walaupun sesaat”, bathin ku berkata. Kuliat-lihat sebentar kadaan di sekitar gua tak lama kemudian kulanjutkan perjalanan. Sambil terus berlari ku turuni batu-batu, tak lama berselang hujan kembali turun, saat itu telah sampai ditempat aku menaruh barang-barangku. Lalu kuambil ponco dan melanjutkan perjalanan. Deras-nya hujan tak membuat surut langkahku untuk segera sampai dibawah.

diary ‘hijjau’…

Akhirnya sampai juga di pos I setelah bergelut selama hampir 3 jam. “Wuuiiihhhh, cepat juga perjalanan turun ini, hanya ditempuh dalam waktu tiga jam”, senyum ku dalam hati. Sepertinya hujan terus saja mengikuti ku, selangkah demi selangkah sepertinya lama sekali. Hujan yang semakin deras dan fisik yang semakin menurun memperlambat jalan-ku. Lalu aku melihat rumah-rumahan di tepi ladang, tampak asap mengepul dari perapian didalamnya. Tak ku sia-siakan untuk mampir dan berteduh disana. “Kebetulan sekali”, pikirku. Aku mendatanginya dan mengucapkan salam, Pintu dibuka, sambil berbasa-basi dengan logat sundaku yang halus dan mereka mempersilahkan masuk. Tampak sepasang petani yang ternyata juga sedang berteduh. Disana aku bisa menikmati ubi dari pohon disekeliling gubuk itu. “hhhmmmm…enak sekali rasanya, hujan-hujan seperti ini menikmati ubi bakar yang manis”. sekitar gua tak lama kemudian kulanjutkan perjalanan. Sambil terus berlari ku turuni batu-batu, tak lama berselang hujan kembali turun, saat itu telah sampai ditempat aku menaruh barang-barangku. Lalu kuambil ponco dan melanjutkan perjalanan. Deras-nya hujan tak membuat surut langkahku untuk segera sampai dibawah.

diary ‘hijjau’…

Akhirnya sampai juga di pos I setelah bergelut selama hampir 3 jam. “Wuuiiihhhh, cepat juga perjalanan turun ini, hanya ditempuh dalam waktu tiga jam”, senyum ku dalam hati. Sepertinya hujan terus saja mengikuti ku, selangkah demi selangkah sepertinya lama sekali. Hujan yang semakin deras dan fisik yang semakin menurun memperlambat jalan-ku. Lalu aku melihat rumah-rumahan di tepi ladang, tampak asap mengepul dari perapian didalamnya. Tak ku sia-siakan untuk mampir dan berteduh disana. “Kebetulan sekali”, pikirku. Aku mendatanginya dan mengucapkan salam, Pintu dibuka, sambil berbasa-basi dengan logat sundaku yang halus dan mereka mempersilahkan masuk. Tampak sepasang petani yang ternyata juga sedang berteduh. Disana aku bisa menikmati ubi dari pohon disekeliling gubuk itu. “hhhmmmm…enak sekali rasanya, hujan-hujan seperti ini menikmati ubi bakar yang manis”.